Pada
suatu hari Rasulullah saw. berkata kepada para sahabat,”Sudikah kalian aku
beritahukan mengenai amal perbuatan para pahlawan?”
“Wahai
Rasulullah, apakah amal perbuatan para pahlawan tersebut?”
“Yaitu
mencari ilmu karena sesungguhnya ilmu itu adalah cahaya orang mukmin di dunia
dan di akhirat. Aku adalah kota (gudang) ilmu, sedangkan Ali r.a. adalah pintu
masuknya,” sabda Rasul.
Ketika
kaum Khawarij mendengar sabda Rasulullah saw. tersebut, timbulah rasa hasud dan
dengki pada Ali r.a. Akhirnya, sepuluh orang pembesar di antara mereka
berkumpul membuat persekongkolan. Mereka sepakat bahwa masing-masing dari
mereka menanyakan masalah yang sama. Jika Ali r.a. menjawab masing-masing dari
pertanyaan mereka dengan jawaban yang lain, maka berarti Ali r.a. memang
berilmu luas sebagaimana yang disabdakan Rasulullah.
Salah
seorang dari mereka datang dan mengawali pertanyaan kepada Ali r.a.”Hai Ali
r.a., manakah yang lebih utama, ilmu ataukah harta?”Apa alasan dan argumentasi
Anda?”
“Ilmu
adalah warisan para Nabi, sedangkan harta adalah warisan Qarun, Fir’aun, dan
lain sebagainya,” jawab Ali r.a. setelah mendapat jawaban dari Ali r.a., orang
pertama yang bertanya langsung pergi.
Lalu
orang kedua bertanya dengan pertanyaan yang sama.
Ali
r.a. menjawab. “Ilmu lebih utama dari harta karena ilmu akan menjaga dan
melindungi Anda, sementara harta justru kamu yang menjaganya.”
Kemudian
orang ketiga yang menyusul dan bertanya seperti pertanyaan yang diajukan orang
pertama dan orang kedua. Ali r.a. menjawab, “Ilmu lebih berharga dari harta.”
“Apa
alasan dan argumentasi Anda dengan jawaban itu?”
“Pemilik
harta mempunyai banyak musuh, sementara pemilik ilmu mempunyai banyak teman.”
Selanjutnya,
datanglah orang keempat, kelima, dan seterusnya sampai orang yang kesepuluh
dengan pertanyaan yang sama. Tetapi Ali r.a. berhasil memberikan jawaban yang
berbeda dan memuaskan.
Teringat ketika kita masih kecil, maka
orang tua kita sering mendoakan kita menjadi orang yang pandai atau pintar.
Memang kepandaian merupakan satu hal yang menjadi tolok ukur kesuksesan
seseorang. Tapi apakah kepandaian itu? Mungkin dari kita ada yang menghitung
berdasarkan IQ. Tapi kasihan juga orang yang ditakdirkan dilahirkan dengan IQ
yang rendah, mereka tidak akan pernah menjadi orang pintar. Bahkan kepintaran
dijadikan iklan obat anti masuk angin.
Yang menarik dalam Islam,
kepandaian itu dapat diraih oleh setiap orang, walaupun IQ nya tidak tinggi.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:

“Orang yang pandai
adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk
kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya
mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT.” (HR. Imam
Turmudzi, ia berkata, ‘Hadits ini adalah hadits hasan’)
Jadi ada dua parameter orang yang
pandai yaitu orang yang sering bermuhasabah dan melakukan amal untuk persiapan
setelah meninggal.
Muhasabah
Muhasabah dari kata hisab yang
berarti perhitungan atau melakukan evaluasi. Kesibukan aktifitas kita terkadang
melupakan kita untuk mengevaluasi sejauh mana progres aktifitas dan menilik hal
apa yang kurang dan perlu diperbaiki. Padahal evaluasi itu perlu dilakukan,
agar kita bisa bernafas dan menata ulang kehidupan kita.
Al Quran menyuruh kita untuk
muhasabah [QS. Al-Hasyr 18]:

“Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan
apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Sahabat Umar r.a. berkata:
”Hisablah
(evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah)
kalian untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan
menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di
dunia.”
Pernyataan sahabat Umar r.a. diatas
bermakna bahwa semakin sering kita melakukan muhasabah maka semakin lebih
sering memperbaiki diri dan semakin ringan hisab di yaumil akhir. Oleh karena
itu, muhasabah bisa dilakukan tiap hari, pekanan, bulanan atau tahunan.
Muhasabah tidak hanya bermanfaat
untuk akhirat tapi juga untuk kehidupan dunia. Bill Gates, seorang milyuner,
selalu menyempatkan untuk beristirahat seminggu atau “think week” dalam
enam bulan sekali dari kepenatan di perusahaannya, Microsoft. Dia akan
beristirahat disuatu tempat yang sunyi dan membaca buku sekitar 18 jam sehari.
Dari kesempatan untuk berkontemplasi tersebut, muncul ide-ide segar dalam
pengembangan software.
Beramal untuk
Bekal
Selain itu, Rasulullah saw. juga
menjelaskan kunci kesuksesan yang kedua, yaitu action
after evaluation. Artinya setelah evaluasi harus ada aksi
perbaikan. Dan hal ini diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dengan sabdanya dalam
hadits di atas dengan ’dan beramal untuk kehidupan sesudah kematian.’ Potongan
hadits yang terakhir ini diungkapkan Rasulullah saw. langsung setelah
penjelasan tentang muhasabah. Karena muhasabah juga tidak akan berarti apa-apa
tanpa adanya tindak lanjut atau perbaikan.
Orang yang pandai bukan hanya bisa
bekerja atau mengumpulkan harta, tetapi orang yang juga beramal sholeh untuk
hari kemudian. Orang tersebut akan sibuk beraktifitas dan juga berinfaq atau
membantu sesama agar mendapatkan pahala di hari akhir. Dalam surat Al Qashash
77, Allah SWT berfirman:

“Dan carilah pada
apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.”
Bahkan dalam ayat ini disebutkan
keutamaan terhadap bekal di dunia, dengan tidak melupakan kebahagiaan di dunia.
Beginilah pola hidup yang patut ditiru sehingga terjadi keseimbangan dalam
kehidupan kita agar kebahagiaan di dunia dan akhirat bisa diraih.
Secara ringkas, kepandaian yang hakiki
dapat dicapai oleh setiap orang. Kepandaian itu dapat digapai dengan melakukan
muhasabah secara berkala dan beramal untuk kehidupan di dunia dan akhirat.
Semoga kita mendapatkan petunjuk dari Allah SWT untuk menjadi seorang muslim
yang pandai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar